Langsung ke konten utama

Unggulan

Sampah. Siapa Yang Sampah ?

Pada kenyataannya, sampah di negara-negara maju dan sebagian negara berkembang adalah industri. Lalu mengapa di Indonesia sampah menjadi momok permasalahan lingkungan yang tidak pernah hilang dari daftar perbaikan di instansi dan lembaga pemerintahan bahkan di NGO yang berhubungan dengan lingkungan hidup. Komsumsi plastik di Indonesia tidak sebanyak negara-negara berkembang lainnya, namun Indonesia merupakan negara penyumbang sampah plastik terbesar ke-2 di dunia. Artinya pengolahan sampah plastik di Indonesia yang sangat minim. Bahkan hanya beberapa provinsi yang meregulasi sampah plastik secara khusus. Keterbatasan pengolahan sampah di Indonesia adalah karena sampah-sampah yang dihasilkan masih mengandung sampah. Kebiasaan membuang sampah masyarakat masih jauh dari kata Cerdas. Di negara-negara maju edukasi cara membuang sampah sudah di terapkan sejak dini. Artinya peran pendidikan sangat penting dalam hal ini. Bahkan hal sederhana seperti membedakan sampah organik

OPTIMASI DAN KARAKTERISASI KITOSAN DARI KULIT UDANG PUTIH (Litopenaeus vannamei Bonne)



Perkembangan ekspor udang di Indonesia telah maju dan pesat khususnya di provinsi Sulawesi Selatan. Pada tahun 2014 provinsi Sulawesi Selatan mengekspor udang 42.000 ton dalam keadaan beku ke Amerika, Jepang dan Mesir. Setahun sebelumnya provinsi Sulawesi Selatan mengekspor udang sebanyak 1.580.981,10 kilogram kesejumlah Negara di dunia (www.sulselprov.go.id). Data dari dinas perikanan Sulawesi Selatan menyatakan bahwa perkembangan budidaya udang mulai tahun 2013 semakin pesat karena semakin banyaknya permintaan ekspor dari Negara-negara lain di dunia.
Peningkatan budidaya perikanan tahun 2013 sangat bervariasi bergantung pada jenis udang tersebut. Budidaya udang windu naik 3%, udang vannamei naik 93% serta jenis udang lainnya naik hingga 22% (www.dpksulsel.net). Udang yang diekspor berupa udang beku  tanpa kepala dan kulit. Hasil proses pembekuan, 40-50 % dari berat udang menjadi limbah (kulit dan kepala) yang saat ini masyarakat hanya menggunakannya sebagai bahan perasa pada pembuatan kerupuk dan terasi       (Natsir et al, 2007).
            Semakin tingginya presentase budidaya dan eksporting udang di Sulawesi Selatan dalam bentuk beku menyebabkan semakin banyaknya limbah udang yang di hasilkan seperti kulit dan kepala udang. Limbah-limbah tersebut masih kurang termanfaatkan. Oleh karena itu, limbah tersebut perlu penanganan yang serius terutama karena limbah ini mengandung senyawa kimia yang berpotensi menjadi bahan yang lebih bermanfaat yaitu kitin dan kitosan.
Brown dalam Darnianti (2008), mengemukakan bahawa pengolahan limbah berwawasan lingkungan harus mengikuti prinsip empat-R yaitu reduce (minimisasi), reuse (pemakaian kembali), recycle (daur ulang) dan recovery (perolehan kembali). Prinsip daur ulang adalah pemanfaatan limbah suatu industri menjadi bahan baku oleh industri lain dan menghasilkan suatu produk baru, contohnya limbah kulit udang dari industri pemprosesan udang yang dapat diolah menjadi kitin dan kitosan yang merupakan bahan baku untuk beberapa industri lain.
Sifat kitin yang tidak beracun dan mudah terdegradasi mendorong dilakukannya modifikasi kitin dengan tujuan mengoptimalkan kegunaan maupun memperluas bidang aplikasi kitin. Salah satu senyawa turunan dari kitin yang banyak dikembangkan karena aplikasinya yang luas adalah kitosan. Kitosan merupakan suatu amina polisakarida dari hasil deasetilasi kitin. Sifat biokompatibel, biodegradable dan nontoksik yang dimiliki kitosan, merekomendasikan penggunaan senyawa ini dalam industri ramah lingkungan.
Kitin dan kitosan yang memiliki standar mutu tinggi memilki banyak manfaat baik dalan kehidupan rumah tangga maupun dalam bidang industri. Beberapa manfaat kitosan adalah sebagai agen pengawet pada makanan, anti bakteri serta sebagai agen pengadsorpsi baik limbah (logam dan pewarna) maupun zat-zat lain yang memiliki karakter yang sesuai dengan adsorben kitosan.
Beberapa tahap dalam memperoleh kitosan yakni : tahap deproteinasi, depmineralisasi, depigmentasi serta tahap deasetilasi kitin menjadi kitosan. Untuk memperoleh standar mutu kitosan yang baik perlu diketahui keadaan-keadan optimal pada setiap tahapnya.
Melihat pentingnya mendapatkan kualitas kitosan yang sesuai dengan standar mutu kitosan, maka penelitian ini penting dilakukan untuk mengetahui kondisi-konsi optimum pembuatan kitosan pada setiap tahapannya.

A.      Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen yang bertujuan menentukan kondisi optimum setiap tahap dalam pembuatan kitosan dari limbah kulit udang putih (Litopenaeus vannamei Bonne).
B.     Waktu dan Tempat
Penelitian ini mulai dilaksanakan bulan September 2014 yang meliputi penelusuran literatur, observasi mengenai kulit udang, dan penyusunan proposal. Preparasi dan analisis sampel dilakukan di Laboratorium Kimia FMIPA UNM.
C.      Objek Penelitian
Objek dalam penelitian ini adalah kulit udang putih (Litopenaeus vannamei Bonne).
D.      Alat dan Bahan
1.      Alat Penelitian
            Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah alat-alat gelas yang umum digunakan, shaker inkubtor merek Stuart Tipe Orbital Incubator SI500, blender, FTIR, stopwatch, neraca merek Cheetah, oven, dan ayakan (80mesh), cawan, kondensor refluks, kondensor destilasi, pompa vakum,  tanur, dan eksikator.

2.      Bahan Penelitian
            Bahan-bahan yang akan digunakan pada penelitian ini adalah kulit udang putih, larutan NaOH(p.a), HCl(p.a), NaOCl(p.a), Indikator universal, H2SO4 (p.a), Asam Borat(p.a), Indikator PP, KBr(p.a), Pewarna Azo Direct Biru,  aluminium foil, akuades, kertas saring Whatman, dan Air.
E.     ProsedurPenelitian
1.      Penyiapan Sampel
Persiapan dimulai dengan mencuci limbah kulit udang putih yang mentah dengan air berulang kali. Kulit udang dijemur di bawah sinar matahari sampai benar-benar kering. Kulit udang yang sudah kering kemudian dihaluskan dengan blender dan di ayak dengan ayakan 80 mesh. Serbuk kulit udang yang lolos ayakan 80 mesh dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama 1 jam.
2.      Penentuan Kondisi Optimum Setiap Tahap Isolasi Kitin
a.       Deproteinasi
1).   Penentuan Perbandingan Optimum NaOH dan Serbuk Udang
            Penentuan ini dilakukan untuk mengetahui perbandingan optimum yang akan digunakan antara NaOH dan serbuk kulit udang. Variasi perbandingan (b/v) yang akan gunakan yaitu (1 : 2,5), (1 : 5), (1 : 10), (1 : 12,5) dan (1 : 15). Konsentrasi NaOH pada masing-masing perbandingan adlah 3,5% yang direaksikan pada suhu 80oC selama 90 menit. Hasilnya dicuci dengan air sampai netral. Setelah netral, larutan disaring. Endapan dikeringkan dalam oven pada suhu 80oC sampai kering  (kurang lebih 24 jam).
2).  Penentuan Suhu Optimum
Penentuan suhu optimum dilakukan dengan mereaksikan serbuk udang 80 mesh dengan NaOH 3,5% dengan perbandingan optimum yang telah diperoleh. Kemudian larutan di reaksikan pada suhu yang bervariasi antara 70, 80, 90, 100, dan 120oC selama 90 menit. Hasilnya dicuci dengan air sampai netral. Setelah netral, larutan disaring. Endapan dikeringkan dalam oven pada suhu 80oC sampai kering  (kurang lebih 24 jam).
3).  Penentuan Waktu Optimum
Penentuan waktu optimum dilakukan dengan mereaksikan serbuk udang 80 mesh dengan NaOH 3,5% dengan perbandingan optimum yang telah diperoleh. Kemudian larutan di reaksikan pada suhu optimum (dari prosedur sebelumnya) selama 60, 90, 120, 240, dan 360 menit. Hasilnya dicuci dengan air sampai netral. Setelah netral, larutan disaring. Endapan dikeringkan dalam oven pada suhu 80oC sampai kering  (kurang lebih 24 jam).
4).  Penentuan Konsentrasi Optimum
Penentuan konsentrasi optimum dilakukan dengan mereaksikan serbuk udang 80 mesh dengan NaOH 2,5 ; 3,5 ; 5 ; 7 dan 8% dengan perbandingan optimum yang telah diperoleh. Kemudian larutan di reaksikan pada suhu optimum (dari prosedur sebelumnya) selama rentang waktu optimum. Hasilnya dicuci dengan air sampai netral. Setelah netral, larutan disaring. Endapan dikeringkan dalam oven pada suhu 80oC sampai kering  (kurang lebih 24 jam).


b.      Demineralisasi
1).   Penentuan Perbandingan Optimum HCl dan Serbuk Udang
            Penentuan ini dilakukan untuk mengetahui perbandingan optimum yang akan digunakan antara HCl dan serbuk kulit udang hasil deproteinasi. Variasi perbandingan (b/v) yang akan gunakan yaitu (1 : 2,5), (1 : 5), (1 : 10), (1 : 12,5) dan (1 : 15). Konsentrasi HCl pada masing-masing perbandingan adalah 1M yang direaksikan pada suhu 80oC selama 90 menit. Hasilnya dicuci dengan air sampai netral. Setelah netral, larutan disaring. Endapan dikeringkan dalam oven pada suhu 80oC sampai kering  (kurang lebih 24 jam).
2).  Penentuan Suhu Optimum
            Penentuan suhu optimum dilakukan dengan mereaksikan serbuk hasil deproteinasi dengan HCl 1M dengan perbandingan optimum yang telah diperoleh. Kemudian larutan di reaksikan pada suhu yang bervariasi antara 70, 80, 90, 100, dan 120oC selama 90 menit. Hasilnya dicuci dengan air sampai netral. Setelah netral, larutan disaring. Endapan dikeringkan dalam oven pada suhu 80oC sampai kering  (kurang lebih 24 jam).
3).  Penentuan Waktu Optimum
            Penentuan waktu optimum dilakukan dengan mereaksikan serbuk hasil deproteinasi dengan HCl 1M dengan perbandingan optimum yang telah diperoleh. Kemudian larutan di reaksikan pada suhu optimum (dari prosedur sebelumnya) selama 60, 90, 120, 240, dan 360 menit. Hasilnya dicuci dengan air sampai netral. Setelah netral, larutan disaring. Endapan dikeringkan dalam oven pada suhu 80oC sampai kering  (kurang lebih 24 jam).
4).  Penentuan Konsentrasi Optimum
            Penentuan konsentrasi optimum dilakukan dengan mereaksikan serbuk hasil deproteinasi dengan HCl 0,25; 0,50; 1,00; 1,25; dan 1,50 M dengan perbandingan optimum yang telah diperoleh. Kemudian larutan di reaksikan pada suhu optimum (dari prosedur sebelumnya) selama rentang waktu optimum. Hasilnya dicuci dengan air sampai netral. Setelah netral, larutan disaring. Endapan dikeringkan dalam oven pada suhu 80oC sampai kering  (kurang lebih 24 jam).
c.         Deasetilasi
1).   Penentuan Perbandingan Optimum NaOH dan Kitin
            Penentuan ini dilakukan untuk mengetahui perbandingan optimum yang akan digunakan antara NaOH dan kitin. Variasi perbandingan (b/v) yang akan gunakan yaitu (1 : 2,5), (1 : 5), (1 : 10), (1 : 12,5) dan (1 : 15). Konsentrasi NaOH pada masing-masing perbandingan adalah 50% yang direaksikan pada suhu 80oC selama 90 menit. Hasilnya dicuci dengan air sampai netral. Setelah netral, larutan disaring. Endapan dikeringkan dalam oven pada suhu 80oC sampai kering  (kurang lebih 24 jam).
2).  Penentuan Suhu Optimum
            Penentuan suhu optimum dilakukan dengan mereaksikan kitin dengan NaOH 50% dengan perbandingan optimum yang telah diperoleh. Kemudian larutan di reaksikan pada suhu yang bervariasi antara 70, 80, 90, 100, dan 120oC selama 90 menit. Hasilnya dicuci dengan air sampai netral. Setelah netral, larutan disaring. Endapan dikeringkan dalam oven pada suhu 80oC sampai kering  (kurang lebih 24 jam).
3).  Penentuan Waktu Optimum
            Penentuan waktu optimum dilakukan dengan mereaksikan kitin dengan NaOH 50% dengan perbandingan optimum yang telah diperoleh. Kemudian larutan di reaksikan pada suhu optimum (dari prosedur sebelumnya) selama 60, 90, 120, 240, dan 360 menit. Hasilnya dicuci dengan air sampai netral. Setelah netral, larutan disaring. Endapan dikeringkan dalam oven pada suhu 80oC sampai kering  (kurang lebih 24 jam).
4).  Penentuan Konsentrasi Optimum
            Penentuan konsentrasi optimum dilakukan dengan mereaksikan kitin dengan NaOH 40, 45, 50, 55, dan 60% dengan perbandingan optimum yang telah diperoleh. Kemudian larutan di reaksikan pada suhu optimum (dari prosedur sebelumnya) selama rentang waktu optimum. Hasilnya dicuci dengan air sampai netral. Setelah netral, larutan disaring. Endapan dikeringkan dalam oven pada suhu 80oC sampai kering  (kurang lebih 24 jam).
3.      Penentuan Karakteristik Kitin dan Kitosan
Penentuan karakteristik kitin dilakukan untuk mengetahui bahwa senyawa yang diperoleh dari hasil isolasi limbah udang adalah kitin dan kitosan, yaitu dengan cara sebagai berikut :
a.         Uji Kadar Air
Sampel kitin dan kitosan yang diperoleh dari hasil isolasi kitin ditimbang sebanyak 0,5 gram dan dimasukkan dalam wadah (Cawan Porselin) yang telah diketahui berat kosongnya kemudian ditimbang lagi. Setelah itu diovenkan pada suhu 105oC selama 2 jam, kemudian didinginkan dalam eksikator selama 30 menit lalu ditimbang lagi. Perlakuan ini dilakukan hingga beratnya konstan yakni selisih penimbangan 0,002 di tiga kali penimbangan terakhir. Kadar air dapat dihitung dengan rumus berikut :
b.        Uji Kadar Abu
Sampel kitin dan kitosan yang diperoleh dari hasil isolasi kitin ditimbang sebanyak 0,5 gram dan dimasukkan dalam wadah (Cawan Porselin) yang telah diketahui berat kosongnya kemudian ditimbang lagi. Sampel kemudian dipanaskan dalam tanur hingga 500oC selama 30-45 menit. Dari 500oC dinaikkan menjadi 900oC selama 60-90 menit dan dipertahankan pada suhu 900oC. Sampel hasil pemanasan lalu didinginkan di plat logam (10 menit) dan dieksikator (15 menit) lalu ditimbang. Untuk menghitung kadar abu digunakan rumus sebagai berikut :
c.         Analisis N-Total
Analisis kadar protein dilakukan dengan metode kjeldahl. Sampel ditimbang sebanyak 5 gram kemudian dimasukkan kedalam labu kjeldahl. Ditambahkan 0,5 gram selenium dan 35 mL H2SO4 (p), kemudian didestruksi sampai larutan jernih. Larutan didinginkan kemudian ditambahkan dengan 200 mL air. Larutan tersebut dimaksukkan kedalam labu destilasi kemudian dimasukkan beberapa tetes indikator phenofthalein. Ditambahkan NaOH 45% sampai larutan bersifat basa kemudian labu dihubungkan dengan dengan alat destilasi. Larutan lalu didestilasi sampai destilat yang diperoleh sebanyak 100 mL. Destilat yang diperoleh ditampung dalam 25 mL asam borat 3% sampai volume 100 mL. Destilat lalu ditambahkan dengan 3 tetes indikator campuran. Destilat tersebut lalu dititrasi dengan larutan standar HCl 0,1 N sampai warna ungu (catat volume titrasi). Hal yang sama juga dilakukan terhadap blangko. Kadar protein dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
d.        Analisis dengan Spektroskopi Infra Merah
Spektrum kitin diperoleh dengan menggunakan spketroskopi IR dengan sampel berupa padatan. Disiapkan serbuk udang hasil deproteinasi yang kemudian dicampurkan dengan KBr kering. Campuran tersebut di tumbuk hingga diperoleh ukuran partikel yang kecil. Sampel yang telah dihaluskan kemudian dimasukkan kedalam pellet press secara merata. Kemudian pellet press dihubungkan ke pompa hidrolik dengan kekuatan 100 ton (kg newton) serta dipompa vakum selama 15 menit. Diusahakan pellet dibuka secara hati-hati, kemudian pellet yang dihasilkan dipindahkan dengan menggunakan spatula ke dalam sel holder. Serapan sampel selanjutnya diukur dengan FTIR. Data serapan yang dihasilkan digunakan untuk menganalisis gugus fungsi yang muncul serta untuk menghitung derajat deasetilasi dari kitin. Prosedur yang sama juga dilakukan untuk kitosan.

DAFTAR PUSTAKA
Arif, Abdul Rahman. 2013. Potensi Kitin Deasetilasi Dari (Bacillus Licheniformis) HSA3-1A Untuk Produksi Kitosan Dari Limbah Udang Putih (Pheaneus merguiensis) Sebagai Bahan Pengawet Bakso Ikan. Makassar : Pascasarjana Universitas Hasanuddin.

Bastaman. 1990. Penelitian Limbah Udang sebagai Bahan Industri Khitin dan Khitosan. Kementerian Perindustrian. BBIHP. Bogor.

Darnianti, 2008, Penurunan Kadar Warna Limbah Cair Industri Pencucian Jeans Dengan Kitosan dan Jamur Lapuk Putih (Trametes versicolor). Medan : Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Departemen Perikanan dan Kelautan Sulawesi Selatan, 2015. Perkembangan Budidaya Udang Sulawesi Selatan Tahun 2013. url : http://dpksulsel.net/

Focher, B. et.al, 1992. Structural Differences Between Chitin Polymorphs and Their Precipitates from Solution Evidence from CP-MAS 13 C-NMR, FT-IR and FT-Raman Spectroscopy. Journal Charbohidrat Polymer. 17 (2) : 97 – 102.

Komardi, Ahmad, 2007. Potensi Usaha Budidaya Udang Putih (Litopenaeus Vannamei Bonne) Di Wilayah Pesisir Pantai Timur Kabupaten Tulang Bawang Lampung Dan Kabupaten Ogan Komering Ilir Sumatera Selatan. Lampung: Keahlian Perikanan, Universitas Terbuka UPBJJ Lampung.

Lee, JY et al, 2002. Enhanced Bone Formation by Controlled Growth Factor Delivery From Chitosan – Based Biomaterials. Journal of Controlled Release. 17 January 2002, Vol.78 (1): 187-197

Natsir, H, et.al. 2007. Konversi Kitin dari Limbah Udang Api-api (Metapenaeus monoceros) Menjadi Senyawa Kitosan Secara Enzimatis. Jurnal Marina Chemica Acta. Edisi Khusus Seminar Nasional FK3TI: 82–89

No HK, Meyers SP., & Lee KS. 1989. Isolation and Characterization of Chitin from Crawfish Shell Waste. J Agri Food Chem 37: 575-579

Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, 2015. Sulsel Ekspor 42.000 Ton Udang Beku ke Amerika, Jepang dan Mesir Tahun 2014. url: http://sulselprov.go.id/berita/

Prasetyaningrum A et al, 2007. Optimasi Derajat Deasetilasi Pada Proses Pembuatan Chitosan dan Pengaruhnya Sebagai Pengawet Pangan. Jurnal Riptek, Vol,1 No.1, November 2007, Hal: 39-46  

Puspitasari, Anggraini, 2007. Pembuatan Dan Pemanfaatan Kitosan Sulfat Dari Cangkang Bekicot (Achatina Fullica) Sebagai Adsorben Zat Warna Remazol Yellow FG 6. Surakarta : FMIPA Universitas Sebelas Maret.

Rochima, Emma, 2014. Kajian Pemanfaatan Limbah Rajungan dan Aplikasinya untuk Bahan Minuman Kesehatan Berbasis Kitosan. Jurnal Akuatika Vol.1 No.1/ Maret 2014 (71-82) ISSN 0853-2532

Sanjaya,I dan Yuanita.L. 2007. Adsorpsi Pb (II) oleh Kitosan Hasil Isolasi Kitin Cangkang Kepiting Bakau (Scylla sp). Jurnal Ilmu Dasar, Vol.8 No.1 hal. 31. 2007.

Sanusi, Mustari, 2004. Transformasi Kitin Dari Hasil Isolasi Limbah Industri Udang Beku Menjadi Kitosan. Marina Chimica Acta, Oktober 2004, hal. 28-32. Vol. 5 No.2 ISSN 1411-2132

Savitri Emma ­et al, 2010. Sintesis Kitosan, Poli (2-amino-2-deoksi-D-Glukosa), Skala Pilot Project dari Limbah Kulit Udang sebagai  Bahan Baku Alternatif Pembuatan Biopolimer. Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia Kejuangan. ISSN 1693-4393

Suhartono, M.T, 2006. Pemanfaatan Kitin, Kitosan, Kitooligosakarida. Jurnal Foodreview 1 (6): 30-33
 

Komentar

Postingan Populer